Langit sempurna biru, khatib Idul Fitri sudah basah keningnya oleh peluh, sementara di atas terlihat burung bersayap putih terbang berbondong. Seekor di antaranya memisahkan diri, lalu melayang-layang sembari membentangkan sayap. Beberapa pipit bergelut di ujung atap di bawah sinar matahari nan memanggang. Panas itu kian garang terasa di punggung jemaah.
Ini Shalat Idul Fitri, Jumat (21/4) di Kuranji Permai, Padang yang suara khatib dan imam beradu keras dengan masjid di sebelah sana. Nyaris tak ada angin, yang ada jemaah shalat dengan khusu’ dan mendengar khutbah dengan tenang.
Khatib bicara soal ketaqwaan dan orang-orang yang bisa mengendalikan kemarahan. Tentang alam ruh sampai akhirat. Di ujung sana, jalan akan bersibak satu ke neraka lainnya ke surga.
Khatib selesai, jemaah pulang setelah fa’fu wasfahu, saling memaafkan. Ini jauh maknanya, melebihi selamat lebaran di WA. Sekali buat dikirim ke semua kontak.
Dan beberapa orang jemaah pria, masuk ke mushalla, menikmati ketupat, lamang tapai dan sate. Sebenarnya mereka lebih suka bercanda, sambil makan dan meyerup kopi. Semua menyeduh pakai gula. Saya tidak.
Tak lama kemudian, sumbangan pun dihitung. Saya tak ikut, sebab hanya perlu tiga orang saja, tapi saya duduk di sana, untuk berfoto saja. Icak-icak. Bukankah kita dalam keseharian sering icak-icak?
Uang kertas semua, dari pecahan kecil kusam dan baru sampai pecahan terbesar. Kalau lebaran begini, ternyata banyak uang baru dengan nomor seri berderet. Jika saya lebaran tiap hari, jemaah komplek ini, akan menghitung uang tiap hari, tapi tentu saja tidak.
Di Padang mayoritas lebaran Jumat, mungkin juga di Sumbar. Seorang kawan mengirim foto saat Shalat Ied di Masjid Ummi, Alahan Panjang, di bawah langit biru. Daru Jogja, Jakarta dan beberapa kota lainnya, masuk ke WAG saya, lengkap dengan link berita lebaran kembar.
Biarlah. Yang jelas uang sumbangan saat Ied terus dihitung, disusun sesuai pecahan. Dirapikan. Diikat. Dan saya cigin, meninggalkan pria-pria penuh kucikak di mushalla. Di luar langit kian jernih dan tak ada lagi burung berbondong. Sekarang yang berbondong, anak-anak yang menambang. Sebuah keringan dunia mereka. Tiapnya dapat sehelai uang baru.
Uang, memang hebat. Sendirian, mengatur dunia, termasuk mengatur hidangan di atas meja. ***