“Memasuki tahun ke-3 sejak ditetapkannya WTBOS sebagai warisan dunia oleh Unesco, masih banyak tugas dan tanggungjawab yang harus dilakukan bersama oleh pemerintah pusat, provinsi dan tujuh kabupaten/kota, serta peran masyarakat,” katanya.
Daya Tarik
Dekan Fakultas Ilmu Sosial UNP Dr Siti Fatimah yang menjadi nara sumber di kegiatan ini menekankan, sesungguhnya kawasan WTBOS kaya akan warisan budaya dan sejarah, namun sayangnya intangible cultural heritage (praktik, representasi, ekspresi, pengetahuan, atau
keterampilan, serta instrumen, objek, artefak, dan ruang budaya yang dianggap oleh Unesco sebagai bagian dari warisan budaya suatu tempat) belum terawat dan dikemas dengan baik, sehingga ini menjadi kendala dalam menari kunjungan wisatawan.
“Kalau kita pergi di kawasan objek wisata piramid di Mesir banyak narasi menarik yang didapat sehingga banyak wisatawan datang ke negara ini,” katanya.
Dalam hal ini, Siti Fatimah mencontohkan banyak warisan sejarah dan budaya di Sawahlunto yang bisa dinarasikan, misalnya Gudang Ransum pada masa penjajahan kolonial Belanda mampu memasak nasi sebanyak 3.900 kilogram beras setiap hari bagi pekerja tambang batubara. Di masa kini, hotel berbintang tak mampu memasak nasi sebanyak itu. Nah, dengan high technology cooking di zaman Belanda, Gudang Ransum mampu melakukannya. Ini bisa menjadi bahan narasi atau story telling yang menarik,” bebernya.
Menurutnya, WTOBS ini bisa dijual ke pasar wisata namun perlu upaya untuk mengemas narasi intangible cultural heritage dengan baik dan menarik.(soesilo ap)