PADANG – Terkait operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap Bupati Pemalang, Jawa Tengah Mukti Agung Wibowo pada Kamis (11/8), Sosiolog IPDN Jose Rizal mengkhawatirkan menguatnya sirkulasi demokrasi lokal yang tidak sehat.
Ketika dihubungi pada Sabtu (13/8), Jose sepakat bahwa mahalnya ongkos pilkada menjadi biang kerok maraknya praktik korupsi di daerah, sehingga perlunya reformasi sistem Pilkada langsung.
“Ya perubahan sistem akan memengaruhi kultur. Politik transaksional kini berurat berakar dalam demokrasi lokal. Hukum ekonomi menjadi dominan bermain di arena tersebut. Sehingga orientasi aktor hanya dipenuhi ambisi kuasa tanpa lagi mempedulikan permasalahan sosial. Namun, yang tak kalah penting dicermati adalah inilah bukti sirkulasi demokrasi lokal yang tidak sehat,” kata Jose.
Menurut Jose, terbukanya pintu demokrasi hendaknya menghadirkan aneka kandidat dari berbagai latar belakang. Akan tetapi, akibat batasan regulasi maka yang menempati rating teratas kandidasi kepala daerah adalah mereka yang berasal dari lingkaran oligarki, seputar pengusaha, dan para aktor popular, “Kebanyakan dari ketiga saluran itu. Karena iklim demokrasi lokal saat ini memberi ruang bagi yang dekat dengan kekuasaan, punya banyak uang, dan popular sebagai yang berkemungkinan besar memenangkan arena. Justru individu yang berangkat dari dunia pemerintahan, yang mengerti benar seluk beluk birokrasi diberi halang rintang mengikuti kontestasi.”
Pendiri kanal Youtube Sisi Lain Sang Pamong (SilaSapa) ini mengusulkan agenda reformasi demokrasi lokal tak hanya sebatas mengubah regulasi menyangkut sistem pilkada langsung, yang hanya mengoreksi struktur, akan tetapi hendaknya membuka kompetisi yang lebih luas dan sehat, sehingga publik memiliki cukup banyak pilihan kandidat, “Para birokrat itu berangkat dari kultur yang paham tata kelola pemerintahan. Di luar pro kontra penunjukan Pj-KdH dari ASN, saya memandang kepiawaian ASN memimpin pemerintahan daerah itu sangat baik, selain karena tak terbebani dengan ‘hutang pilkada’, juga karena mereka berasal dari birokrasi yang artinya telah berpengalaman mengelola pemerintahan. Ngerti aturan main. Mencermati ini, sebaiknya revisi UU ASN yang tengah disempurnakan juga mempertimbangkan hal tersebut.”
“Sistem pilkada langsung sejak 2005 yang memproduksi 445 Kepala Daerah Koruptor tentu harus segera diralat. Demokrasi yang memperalat masyarakat harus dicegat. Rakyat mestinya lebih kuat dan menerima manfaat lebih pesat. Fenomena semakin banyaknya Kepada Daerah jadi koruptor adalah bukti bahwa sirkulasi demokrasi lokal tak lagi sehat. Demokrasi akan bermutu dengan makin beragamnya kultur kandidat. Bukannya 4 L: Lu Lagi, Lu Lagi.” ujar penulis nasional buku biografi tokoh politik dan pemerintahan ini. (soesilo)