Oleh Rumendra Wahyu Triandana, Clara Aulia Kirania Purba, Rajwa Rifdatu Rahmah, Sheera Rizqita, Ridwan, Wasila Ghina Ayyasy
Mahasiswa Unand
Ujaran kebencian merupakan sebuah ekspresi berupa tulisan atau lisan yang mengandung unsur kebencian berupa ucapan kasar, perkataan yang tidak senonoh, hingga hasutan kebencian yang berujung pada kekerasan terhadap orang lain. Maraknya ujaran kebencian ini sering kita jumpai di sosial media seperti Twitter, Facebook, Youtube dan Instagram. Sejak akhir Mei 2018, dari sekitar empat ribu akun yang di-take down Kominfo hampir setengah di antaranya berada di Instagram dan Facebook, menurut artikel yang dikeluarkan CNN Indonesia. Rudiantara mengatakan pada pertengahan bulan Juni 2018, tren ujaran kebencian yang dipantau oleh Kominfo masih sekitar 20 ribu akun, sama seperti pada akhir bulan Mei lalu. Salah satu bentuk ujaran kebencian di Instagram yaitu komentar negatif.
Menurut pandangan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas, komentar negatif adalah bentuk ekpresi diri tetapi caranya saja yang salah. Komentar negatif mencerminkan kondisi emosional seseorang yang sebenarnya sedang tidak baik-baik saja. Hal ini tidak boleh dinormalisasikan karena merupakan perbuatan yang tidak etis dan bertentangan dengan norma-norma kehidupan. Jika komentar negatif terus menyebar luas, maka besar kemungkinan anak-anak dibawah umur akan mencontoh untuk melakukan hal yang sama. Komentar negatif sangat merugikan korban karena dapat menyerang mental sang penerima komentar dan menyebabkan ia terkena gangguan psikologis seperti kecemasan, stres bahkan depresi. Jadi, sebagai pengguna Instagram, kita harus bersikap bijak dalam berkomentar dan jangan mudah terpancing emosi untuk turut berkomentar negatif.
Ada 3 faktor pendorong ujaran kebencian menurut penelitian yang dilakukan oleh Haidar Buldan Tantowi, S.Psi., M.A., Ph.D. Pertama, ujaran kebencian bisa terjadi karena dalam pribadi netizen ada prasangka negatif kepada seseorang atau kelompok tertentu, misalnya tidak beradab, pelit, sangat ekslusif dan lain sebagainya. Kedua, ujaran kebencian bisa jadi terjadi dari perilaku trolling yang tidak didorong oleh perasaan benci melainkan untuk mendapatkan kenikmatan atau kesenangan pribadi. Terakhir, Haidar juga mengungkapkan bahwa ujaran kebencian juga didorong oleh kondisi seseorang yang mendapat anonimitas sehingga menjadi lebih berani dan leluasa melontarkan ujaran kebencian.
Menurut pandangan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas, komentar negatif disebabkan oleh isi postingan yang menggiring opini dan tidak bermanfaat seperti konten pamer kekayaan dan penggunaan pakaian yang terbuka. Faktor dalam diri yang berupa rasa iri, dengki, benci, dan fomo juga perbedaan pendapat dan pengungkapan pendapat secara kasar juga berpengaruh. Bahkan, terkadang komentar negatif dilontarkan pada seseorang tanpa alasan yang jelas. Hal ini tentu harus mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Pemerintah telah membentuk UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk menanggulangi permasalahan ini.
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah undang-undang yang mengatur penggunaan teknologi informasi dan transaksi elektronik di Indonesia. UU ITE mengatur berbagai aspek, seperti: hak dan kewajiban pengguna internet, perlindungan data pribadi, tindakan pidana terkait penyalahgunaan teknologi informasi, dan tata cara penyelesaian sengketa elektronik. Dalam Penjelasan Pasal 27A UU 1/2024, perbuatan “menyerang kehormatan atau nama baik” adalah perbuatan yang merendahkan atau merusak nama baik atau harga diri orang lain sehingga merugikan orang tersebut, termasuk menista dan/atau memfitnah. Lalu, tindak pidana dalam Pasal 27A UU 1/2024 merupakan tindak pidana aduan yang hanya dapat dituntut atas pengaduan korban atau orang yang terkena tindak pidana dan bukan oleh badan hukum.
Menurut pandangan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas, UU ITE belum cukup memberikan perlindungan kepada korban komentar negatif karena termasuk kategori delik aduan (tindak pidana yang hanya bisa dituntut jika ada pengaduan dari pihak yang dirugikan), sulitnya pengumpulan bukti karena identitas asli yang tersembunyi dibalik akun anonim, proses hukum yang lama, aparat penegak hukum yang kurang tegas, sanksi yang tidak membuat pelaku jera, minimmnya pemahaman masyarakat akan batas kritik dan hukum yang berlaku. Solusi untuk permasalahan tersebut adalah RUU baru untuk memberikan kepastian hukum dan landasan yang jelas, pengaduan oleh korban, upaya lebih tegas dari aparat penegak hukum, sanksi yang menimbulkan rasa takut sehingga tidak mengulang kesalahan yang sama, teknologi untuk melacak pelaku yang bersembunyi dibalik akun anonim, dan masyarakat yang patuh terhadap UU ITE sebagai produk hukum. (*)