“Kama diak? Ka Bukik?”
“Ka sikolah, naik oto itu sajo!” seru seorang laki-laki dengan keringat bercucuran di wajahnya sambil menunjuk sebuah bus berukuran besar di area terminal.
Langit Padang terlihat biru, panas. Pedagang bingkuang duduk seenaknya dekat pintu masuk. Pengeras suara untuk pengumuman sesekali terdengar.
“Bukik bukik”
“Pikumbuah oi pikumbuah”
“Sangka sangka”
Inilah terminal kita waktu dulu, tempat kepercayaan dititipkan. Tempat anak-anak muda datang dan pergi. Kota kita, Padang, tak besar amat, tapi di sini ada terminal yang namanya hafal di luar kepala.
Agen oto terus mencari penumpang. Beberapa orang terus menempel perempuan muda dengan tas ransel di punggung yang baru saja turun dari angkutan kota. Ia tak takut, sebab di sini tak ada orang jahat.
Lelaki itu, sepertinya salah seorang agen bus di sana. Dia terus bertanya sambil menawarkan kendaraan yang ditunjuknya.
Tak berapa lama, laki-laki lain juga datang. “Ka Sangka, diak? Naik oto uda sajo,” timpal laki-laki yang baru datang sambil menunjuk pula sebuah bus.
“Adiak tuh ka Pakan mah. Nah, Naik oto awak sajo, diak,” celutuk laki-laki lain lagi yang baru datang menghampiri. Tiga pria itu, mengelilingi perempuan tersebut yang terus berlalu tak menghiraukan sapaan agen-agen bus tersebut.
Di sisi lain, hal serupa juga berlaku. Agen-agen bus itu dengan lantang menyapa orang-orang yang masuk ke kawasan itu.
Terminal Lintas Andalas namanya. Kini, tinggal nama. Tak ada lagi terminal dan kisahnya yang panjang.
Pada tahun 2002, Pemerintah Kota Padang mengalihkan terminal ke Air Pacah, sebuah lokasi di Jalan By Pass. Lokasi terminal kemudian berganti dengan bangunan besar bertingkat dengan nama Plasa Andalas, pusat perbelanjaan modern.
Tak ada lagi bangunan bergonjong, tempat bermarkasnya petugas terminal yang setiap saat mengingatkan kendaraan agar tertib di area yang sudah ditentukan.