Sesekali pengeras suara dari bangunan yang berlokasi persis di tengah terminal itu mengabarkan tentang anak hilang yang terpisah dari orang tuanya.
Berbagai kisah itu kini tinggal cerita. Waktu dan kebijakan pemerintah telah mengubahnya. Yang tersisa hanya sebuah patung. Dia sepi tersisih di sebelah kanan bangunan megah yang sering dijadikan tempat nongkrong warga kota. Patung itu bahkan kini kusam, tak terawat. Catnya sudah menghitam karena terpaaan panas dan hujan.
Tugu itu adalah dedikasi atas perjuangan seorang pemuda bernama Mohammad Syarif.
Bila dulu, saat terminal ada, dia bisa terlihat dengan gagah berdiri, kini patung Syarif hampir tak bisa dikenali lagi. Dia seperti halnya terminal, bagai hilang, ditengah gempuran kemajuan.
Sementara itu, bocah tomboy itu dibimbing sang ibu menaiki bus angkutan luar kota dan antar provinsi. Persisnya, bus menuju Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar. Tanjung Raya, nama bus menuju kawasan daerah Sungai Tarab dan Pasir Laweh Batusangkar. Bus itu hanya dua kali sehari menuju kawasan tersebut. Pagi dan sore, sudah seperti minum obat saja. Ya begitulah adanya.
Sekali seminggu, bocah kecil itu bersama ibunya selalu menaiki bus itu di Terminal Lintas Andalas, karena sang ayah dipindahtugaskan sebagai Kepala Sekolah SMPN Pasir Laweh yang kini diubah namanya menjadi SMPN 2 Sungai Tarab.
Kenapa tidak, bocah kecil yang masih duduk di kelas II SMP tersebut menemani ibunya bolak balik Padang – Batusangkar. Sebab, sang ibu harus mengontrol dua anaknya yang masih kuliah di Padang. Sementara suaminya dinas di Batusangkar.
Dan kini, bocah itu kembali bernostalgia ketika melihat bangunan megah berdiri kokoh di bekas Terminal Lintas Andalas. Ya, itu adalah Mall Plasa Andalas. Konon katanya, dahulu sebelum terminal tersebut berdiri adalah kuburan Belanda.
Kembali ke Terminal Lintas Andalas. Bocah itu bercerita, ada sepotong kisah tertinggal di terminal. Yakni, ia dan ibunya harus tergopoh-gopoh mengejar bus yang akan berangkat. Terkadang, ia harus menunggu penumpang lain selama satu jam. Bercucuran sudah, peluh keringat di badan mereka.
“Pasia Laweh, Sangka. Pasia Laweh, Sangka,” sorak agen otonya. Ia dan ibunya menaiki bus dengan segera. Tak pelak ia harus berdiri, karena penuh penumpang. Tak heran juga bocah tomboy itu di panggil Buyuang oleh orang-orang karena potongan rambutnya yang pendek.
Seraya menunggu penumpang lainnya, ada pengamen yang mendendangkan lagu minang, Rindu Bapusarokan dengan petikan gitar akuistiknya. Ada juga yang menawarkan minuman dan cemilan di atas bus.