Oleh Jeffrie Ricardo Magno
Saya sendiri. Di luar. Sedang dalam karantina, ayah dan ibu serta adik dan keponakannya saya. Hari biasa saja, saya tak kuat bolak-balik ke sana kemari, tapi sekarang, loko kereta api pun akan saya angkat. Jika Anda masih punya ibu dan dia sakit. Jika punya ayah dan dia sakit. Dua adik kandung dan keponakan yang riang, kini semuram senja kala hujan, siapa kuat? Saya.
Terasalah gunanya keluarga sekarang bagi saya, meski sebelumnya sudah terasa juga. Sekarang berlipat-lipat. Saya takut kehilangan salah seorang dari mereka.”Kalau kau tua kelak, ada apa-apa, adik perempuanmu inilah tepatanmu,” kata ibu dalam bahasa Minang, dulu tatkala kami masih kanak-kanak.
Pada adik perempuan, cinta bagi kita pria anak-anak Minang,tak ditampak-tampakkan benar. Tapi, cobalah gores kulitnya, siapapun akan kita lawan. Covid? Lawan tak tampak, maka saya runduk dalam sedih. Amat sedih. Inilah sedih dan takut paling sempurna yang pernah saya rasakan. Mau mengadu pada ibu dan ayah?Beliau benar yang sekarang dikarantina. Saya jadi pria Minangkabau sejati sekarang, kan kusandang seberat apapun beban ini.
Begitulah, pasca ditetapkan sebagai penderita Covid-19, otomatis sekeluarga harus menjalani karantina. Bahkan petugas kesehatan juga sudah datang ke rumah. Untuk mendata ulang mereka yang terjangkit itu. Saya stress memikirkan itu. Pasalnya kedua orang tua saya memiliki penyakit bawaan atau komorbid. Orang tua laki-laki memiliki riwayat kelainan jantung dan paru-paru. Sedangkan orang tua perempuan memiliki riwayat penyakit hipertensi. Dalam literatur yang saya baca, kedua penyakit itu sangat rentan terhadap Covid-19 ini. Yang bisa memicu penyakit awal, menjadi lebih berbahaya.
Hati siapa yang tak risau, kalau orang terdekat apalagi orang tua ditimpa musibah. Tapi itulah. Sudah disitu pula suratannya. Saya termasuk yang paling takut dengan keberadaan virus ini. Sejak awal diumumkan kasus pertama di Indonesia, saya orang yang sangat patuh pada protokol yang ditetapkan pemerintah. Apalagi orang tua saya ini. Sebagai orang kesehatan, tentu lebih tahu dia. Jadi dengan kejadian ini, tidak tentu lagi apa yang mau disebut. Karantina harus dilakukan. Dan harus dijalani. Sebagai satu keluarga yang tinggal serumah, ada toleransi. Mereka bisa karantina di rumah saja, dibawah pengawasan tim kesehatan. Tapi ada kendala. Karena rumah hanya memiliki 5 kamar tidur dan dua kamar mandi, tidak bisa menampung kedelapannya. Untuk itu, ada dua opsi yang disampaikan. Pertama, karantina ke tempat yang ditentukan. Kedua karantina sebagian, atau di rumah separo dan ditempat yang disediakan separo. Opsi kedua yang dipilih keluarga saya itu, dengan berbagai pertimbangan.