Oleh Yunisma
SAYA demam. Saya pandangi tiga anak lelaki saya. Tentara itu sedang lasak-lasaknya, namun demam ini, menggigilkan tubuh, hampir tak bisa saya mengurus mereka. Jika ada doa paling panjang yang dipanjatkan, maka itu doa untuk ketiga buah hati ini . Pria-pria yang kelak mudah-mudahan perkasa membela ayah dan bundanya. Kini, bundanya itu benar yang demam.
“Demam Bunda?” Salah seorang dari mereka bertanya. Memang tubuh ini terasa panas, mudah-mudahan bukan Covid-19. Besok, demam saya berkurang, saya ingin memulai hari seperti biasa, tapi sepertinya belum mungkin.
Dan anak saya, ingin keluar rumah, menjemput dunianya,sebuah dunia yang pernah kita miliki dulu.
“Mana sipakel adek bunda”? Begitu tanya bungsuku yang Desember mendatangkan berusia tiga tahun. Sipakel maksudnya adalah masker untuk dipakai ketika keluar rumah. Sejak corona masuk Sumbar, kami sekeluarga menerapkan protokol kesehatan secara ketat.
Saya punya anak tiga. Semuanya laki-laki. Para tentaraku itu saling ingat satu sama lain ketika mereka tidak membawa masker keluar rumah. Sebagai seorang ibu tentu saya tak ingin anak-anak terjangkit virus Covid-19. Caranya itu tadi dengan menjalankan protokol kesehatan selama wabah melanda.
Selama itu saya sebagai seorang wartawati tetap menjalankan tugas. Was-was pasti saya rasakan, walau sudah ikut protokol kesehatan. Di awal kasus Covid-19 hampir tiap malam saya merasa badan tak enak, tenggorokan terasa sedikit sakit, lelah dan lainnya bercampur aduk. Pikiran sering menggiring, seolah saya terjangkit virus itu. Alhamdulillah, paginya saya sehat lagi.
“Awak demam Pak,” kata saya pada Pemred, Khairul Jasmi.
“Lai ndak kanai corona,” begitu balas dia, setiap kali ada yang melapor demam.
Ujung-ujungnya dia menjawab lagi. “Ndak gai tu do. Kok kanai pastilah rabah. Minum ubek koha,” katanya lagi. Serambi mengirim beberapa multivitamin penambah stamina.
Kami di redaksi Harian Singgalang memang saling ingatkan untuk terus menjaga kesehatan. Sehingga suasana kerja jadi terus kondusif. Kadang seperti saudara sendiri, penuh canda dan perhatian. Ada saja kawan yang sakit, semua bagaduru mengucapkan doa. Lalu, keluar saja list sumbangan sosial, kadang rekening saya marasai, ketika lain rekening Bang Sawir Pribadi, wapemred yang suka bagarah namun sewaktu-waktu diam saja di mejanya.
“Apo juo dek Yuke ko lai, pulang selah, ari lah malam,” kelakar Wapemred satu lagi, Bang Widya Navies. Kalau sudah begitu, ruang redaksi yang bagai rumah itu, pecah oleh tawa.
Saat Lebaran Idul Fitri lalu, angka positif Covid-19 meledak menjadi 3 digit. Naik dari sebelumnya dengan dua digit. Sejak itu saya kurangi ritme ke lapangan, dengan hanya berkomunikasi lewat telepon dan pesan WhatsApp. Namun yang namanya ke redaksi setiap hari saya jalani tiap hari. Sebab kerja di rumah tak bisa fokus. Ada-ada saja tingkah tiga tentaraku. Kerja di media tentu tak boleh sembarangan. Sedikit saja salah, fatal akibatnya. Inilah yang mengharuskan saya datang ke kantor dan pulang malam hari setiap hari. Kenapa selalu malam? Karena saya harus menunggu data update kasus Covid-19 dari Juru Bicara Gugus Tugas Penanganan Kasus Covid-19 Sumbar, Jasman Rizal tiap malam.