Rawat ICU
Saya di sini ditemani oleh alat-alat pendeteksi nadi, paru, jantung, saturasi, tensi dipasang 24 jam. Tubuh saya ditempeli banyak kabel, suara mesin menimpali setiap detik. Nyaris tak bisa bergerak. Tubuh ini, dipasung oleh semua alat itu. Memegang HP pun hanya bisa dilakukan dengan susah payah.
Darah saya berkali-kali diambil. Hampir tak ada lagi tempat untuk menusukkan jarum di tangan dan di kaki. Kini giliran mengambil darah vena. Lama suster mencari-cari dimana akan diambil. Tiap dicoba, tiap gagal. Bagian-bagian tak lazim, seperti di kaki, juga gagal. Beberapa bekas tusukan jarum sudah membiru dan membengkak. Dapat. Darah vena saya harus diambil, metodenya beda. Jarum harus tegak lurus, menusuk ke dalam. Jauh. Yang terjadi? Inilah sakit yang tak terkatakan. Tangan serasa kena setrum. Pertama dalam sejarah darah vena diambil.
Tiga jam kemudian: seorang suster tiba-tiba datang. Ia datang dengan mendorong sebuah kotak. “Kita foto rontgen paru ya Kak?”
Refleks saya bersiap-siap karena berpikir akan dibawa ke ruangan lab. Paling awal saya ambil kacamata yang kemudian asal pasang saja. Saya terkejut, sebab suster itu membuka kotak portable. Bagai crane di gedung-gedung bangunan, kerangka besinya naik tinggi. Ternyata foto rontgennya ada dalam kotak ini. Saya didatangi, bukan saya yang pergi ke laboratorium. Pertama saya alami.
Belum habis kaget saya, berselang datang lagi seorang suster. Ia membawa kotak lain. Ini untuk merekam jantung dan paru. Meski para wanita, mereka sesuai job, melaksanakan tugas dengan profesional. Tak peduli alatnya sebesar dan seberat apapun. Sambil di rontgen dan sambil rekam jantung, saya memberikan pujian kepada perempuan muda hebat ber APD itu. Tak lama keduanya pergi, meninggalkan saya yang nyaris tak percaya. Ada wanita muda bekerja seperti ini. Siapa yang tahu?
Sepi lagi. Inilah rasa sepi yang paling dalam. Saya ditemani bunyi alat-alat medis penyambung hidup. Batuk saya tetap mengeluarkan darah. Dada seperti dikukus. Tiap batuk, bunyi alat monitor itu berbunyi kencang pula. Alat itu mengikuti irama jantung saya. Saya berharap tak ada bunyi panjang dan garis datar dalam grafik monitor itu. Huft saya melamun terlalu jauh.
Tiba-tiba Hp yang berbunyi. Meraihnya di meja dengan tangan terpasung alat saja susah bukan main. Namun, saya sangat merasa “tertolong”. Sebuah video call kawan-kawan SMA. Saya “terisi”, di saat sedang galau dalam ruang sempit yang putih. Hp saya pegang bergantian dengan dua tangan. Tangan saya sudah bertali-tali infus, satu lagi, pakai saturasi, alat ukur detak jantung. Genggaman tangan tak sekokoh waktu sehat.
“Tetap semangat ya Pien. Elu yang biasa kuat, pasti bisa lalui ini. Kita punya agenda kumpul lagi bersama yang harus dieksekusi dan itu harus bersama-sama elu,” papar semua teman sekolah bergantian dengan Whatsapp video. Saya seperti sedang berlari-lari di halaman sekolah dulu, tiba-tiba seperti bergandengan ke masa muda yang semangat dan riang. Bahkan ada yang mengirimkan makanan dan jus buah merah Papua. Terima kasih kawan-kawan yang baik.
Tak hanya teman, abang saya pun memberikan apa yang bisa dia berikan. Termasuk barang-barang yang tak terbawa. Karena ini rumah sakit pemerintah, tak seluruh keperluan pasien disediakan. Selimut tambahan, sendok, tisu basah, pampers, dan peralatan mandi.
Di ICU, botol infus saya lima sekali digantung. Lima, bukan satu. Ambil darah makin intens, suntik pengencer darah dan antibiotik juga makin tak berjarak. Setiap setengah jam sekali. Alat pengukur tensi yang dilekatkan di tubuh saya bekerja sendiri. Tiba-tiba meremas kaki kanan saya. Pengukur tensi yang biasanya di lengan. Kini malah di kaki, karena akan menghambat infus dan saturasi yang diletakan di tangan kanan dan kiri.
Di ICU ini juga demam saya sudah di angka 36 dan 37. Obat sirup batuk yang diberikan, sepertinya membantu menghilangkan darah di batuk. Kalaupun berlendir kembali kuning yang basah dan berbusa. Mungkin inilah inti dari virus covid. Segala hal tentang batuk di paru.
Di hari ketiga ICU, saya tiba-tiba diberikan kabar bisa kembali ke ruang perawatan. Dua petugas tiba-tiba datang. Keduanya mengambil semua barang bawaan. Mereka yang tak bisa saya bedakan karena memakai baju hazmat itu meletakkan semua barang saya di kasur. “Kita pindah ya bu, balik ke ruang perawatan,” katanya. Saya sendiri bingung antara senang atau lega. Ya kembali didorong bukan untuk pulang, tapi untuk kembali dirawat. Masih lamakah saya di sini?
Di lorong ini, saya menahan sesak. Ini karena oksigen saya tak terpasang. Dalam sesak itu saya mengobservasi lorong RS dadakan ini. Rumah sakit yang awalnya ialah lahan sepak bola Simprug. Lantainya bukan dicor tapi ditutup dengan papan. Sehingga jika berjalan membuat bergelombang dibuatnya. “Ini wing 2 lewat mana? Kanan atau kiri?,” ujar mereka yang sepertinya masih belum terbiasa dengan rumah sakit yang dikebut siap dari April.