Oleh Jeffrey Ricardo Magno
Air mata saya berderai, tatkala saya menggayutkan makanan di pagar, lalu saya menjauh. Ibu turun dari rumah, mengambilnya. Sebelum berbalik, beliau menatap saya., lalu berjalan, bagai menghitung langkah. Pintu ditutup. Kisah ini bukan film, tapi saya alami sendiri. Bagai diiris sembilu, menegur ibu saja tak bisa. Dari balik jendela, ayah, dua adik saya dan dua anaknya diam-diam menatap saya. Teramat lama saya tak menangis, namun kali ini tak bisa ditahan.
Kisahnya bermula pada sepotong subuh yang yang muram. Minggu (27/9), ibu saya menelepon. “Seisi rumah sudah demam 3 hari, adikmu kehilangan indra penciuman.” Dunia serasa runtuh. Istri saya, mendekat, sinar matanya menguatkan.
Pagi itu,setelah menunaikan Shalat Subuh, saya biasanya meminum segelas air putih hangat. Sambil menonton siaran berita di televisi. Tiba-tiba telepon saya berdering. Dari ibu. Saya angkat, terdengar suara berat di seberang sana. Rasa cemas langsung menghampiri saya. Saya langsung ke pokok bahasan. Menanyakan apa yang terjadi sebenarnya.
Orangtua saya menyampaikan, mereka yang ada di rumah telah demam selama hampir satu pekan lamanya. Dan sejak tiga hari terakhir, adik perempuan saya kehilangan indra penciuman. Sebagai seorang tenaga kesehatan, meski telah pensiun, tentu orangtua saya mengerti betul apa yang terjadi. Namun, sepertinya beliau tidak mau membuat pikiran saya menjadi kalut.
Sepagi itu, beliau menanyakan fasilitas kesehatan apa yang buka. Karena pada hari Minggu, sudah pasti tanggal merah. Mendengar semua perkataan yang disampaikan itu, saya juga sudah dapat mengambil kesimpulan. Satu kosa-kata baru langsung terbatang di kepala. Covid-19. Itu yang langsung terbayang. Dan orangtua saya juga sudah menganalisa kesana. Dengan semua gejala yang ada. Makanya beliau sepagi itu, minta untuk dilakukan Swab tes.
Setelah selesai menelepon, saya langsung mencari informasi. Fasilitas kesehatan mana yang ada buka. Telepon Kadis Kesehatan Kota Payakumbuh Bakhrizal, langsung saya tekan. Tidak aktif. Saya tulis pesan di nomor WhatsApp (WA) nya. Terkirim, tapi tidak dibaca. Kemudian saya tekan pula nomor Asisten II Setdako Payakumbuh Elzadaswarman, yang juga bekas kadiskes Payakumbuh. Langsung direspon. “Ada apa kanakan,” ujarnya.
Saya sebutkan persoalan yang terjadi. Dikatakannya, hari Minggu ataupun tanggal merah memang fasilitas kesehatan tidak buka untuk pelayanan. Tapi, kalau emergency bisa. Dari keterangan itu, saya usulkan untuk dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Adnaan WD saja. Namun, setelah ke RSUD itu, ternyata juga tidak bisa dilakukan pemeriksaan dan swab tes. Dan, mereka mengusulkan juga untuk dilakukan tes pada Senin (28/9).
Sambil menunggu Senin, pikiran ini sudah buncah. Yang ketidak-tidak saja isinya. Tapi memang begitu pula suratan. Dan sudah putus pula oleh orang tua-tua dulu, kalau sedang panik yang dipikirkan sudah di luar logika. Itu terbukti benar adanya.
Malam harinya, masuk telepon dari kadis kesehatan Payakumbuh. Kadis kesehatan ini langsung saya caca dengan pertanyaan. Akhirnya, dari seluruh keterangan yang saya sampaikan, ia juga menyuruh untuk langsung dilakukan swab tes. “Bule suruh saja semuanya melakukan swab tes, di Bukit Sibaluik (pusat perkantoran Pemko Payakumbuh, red) besok. Kita fasilitasi seluruhnya. Pokoknya bule tenang saja,” ucapnya malam itu.
Sekadar diketahui, sebelumnya Asisten II Setdako juga telah meminta data-data dan foto KTP seluruh anggota keluarga saya. Keluarga saya, juga telah dihubungi oleh petugas puskesmas pada hari Minggu itu. Petugas ini juga sudah mendaftarkan seluruh keluarga saya untuk dilakukan swab tes besok harinya. Ini yang membuat saya agak lega, sebab perhatian dari bapak-bapak pejabat itu, sangat tinggi terhadap keluarga saya.