Tiga hari merasa tidak nyaman saya lalui, saya sudah membatasi diri dengan anak-anak. Termasuk isolasi mandiri di rumah. Ini menyiksa, tidak nyaman sekali. Apalagi saya belum tahu positif atau tidak.
Dua hari berikutnya, kondisi badan mulai mendingan. Sempat ke luar rumah lagi. Tapi belum terlalu pulih. Selasa, 4 Agustus 2020, Rido hasil swabnya positif. Saya makin cemas, istri dan anak-anak masih satu rumah. Perasaan makin kacau, tapi saya dikuatkan karena Rido sendiri saat itu mengaku tidak merasakan apa-apa. Mungkin imunnya kuat.
Kemudian, Rabu 5 Agustus 2020, kami yang berinteraksi dengan Rido langsung tes usap. Saya terlambat, karena saat tracing dilakukan saya terlambat memberi tahu. Baru keesokannya, Kamis 6 Agustus 2020 saya mengikuti tes usap, di Puskesmas Ulak Karang, Padang.
Dua hari kemudian, hasilnya keluar. Saya dinyatakan negatif. Bersyukur, sungguh, saya sangat bersyukur. Seperti lepas dari kurungan.
Kali kedua, penderitaan itu saya rasakan 15 hari dihantui rasa cemas karena Covid-19.
Tak sampai disitu, pada Rabu 16 September 2020, sore saya harus menjalani rapid tes. Untuk keperluan liputan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud. MD ke Padang. Karena semua wartawan yang liputan harus mengikuti rapid test lebih dulu.
Jadwal rapid, Rabu sore. Saya ikut, untuk tes ini cepat, 20 menit hasilnya ke luar. Saya dinyatakan non reaktif. Habis magrib, badan saya demam tinggi. Karena stok obat demam ada, Dumin Paracetamol, saya makan itu. Hasilnya tidak pengaruh. Demam makin tinggi, ditambah dengan letihnya semua sendi. Untuk berjalan saja susah.
Tiga hari saya bertahan, tanpa ke klinik. Sabtu, 19 September 2020, saya ke klinik tempat rujukan Fasilitas Kesehatan (Faskes) pertama BPJS saya. Saya tidak diperiksa, dokter yang berpakaian Alat Pelindung Diri (APD) lengkap itu hanya nanya kondisi saya, kemudian menulis resep obat.
Disini, saya sudah merasakan kembali ketakutan Covid-19. Ada gejala yang mengkhawatirkan hadir sekarang. Semua alat perasa saya hilang. Mulai dari hidung, sampai lidah.
Empat hari saya menghabiskan obat klinik ini. Tidak banyak pengaruhnya, hanya, demam yang mereda. Letih dan lelang makin menjadi-jadi, penciuman makin hilang, lidah makin bebal. Nyaris saya tidak bisa mencium apapun, walau sejenis aroma terapi, fresh care ditarok dalam lobang hidung. Tetap saya tidak bisa menciumnya. Gawat.
Disini, istri sudah yakin saya positif. Semua protokol kesehatan jalan di rumah saya. Anak-anak mulai dijaga oleh isteri, tidak boleh lagi banyak dekat dengan saya. Yang sulit, anak saya yang nomor tiga umur 18 bulan. Dia selalu dekat dengan saya, kalau saya ada di rumah selalu minta digendong. Nah, ini yang rumit.
Kalau saya tolak, dia menangis. Kalau dekat, saya cemas kalau covid apa sudah menyerang saya. Saat itu saya hanya memutuskan mengunci pintu kamar.
Seminggu lamanya, saya rasakan ini. Akhirnya pada Rabu 23 September 2020, saya disarankan untuk swab.
Beruntung, bos saya orang dalam di Semen Padang. Saya disuruh lakukan tes swab di Semen Padang Hospital, prosesnya cepat.
Ada tiga test saya lakukan langsung, pertama cek darah, screening paru-paru dan tes swab. Untuk dua tes pertama saya, bebas. Tidak terdeteksi virus di darah dan paru. Tinggal menunggu hasil swab. Ini memakan waktu, karena pemeriksaan di Sumbar hanya ada dua labor. Yakni, di Labor Fakultas Kedokteran Unand ditambah dengan Labor Balai Veteriner di Baso, Agam.
Ternyata menunggu hasil swab ini lebih menyiksa. Sepanjang hasil itu belum keluar, saya praktis tidak bisa apa-apa, selain mengurung diri. Sejatinya, semua gejala sudah mereda, tapi hasil swab belum keluar. Saya tetap memvonis diri saya sendiri Covid-19. Karena memilih lebih menduga begitu, daripada menduga tidak Covid-19, tapi menyebarkannya pada orang lain.