Tapi, nasib berkata lain, saya kena juga. Entah dimana. Tetiba ambulans yang membawa saya, berhenti. Saya tak tahu telah sampai atau singgah menjemput pasien covid lainnya. Yang pasti, oksigen di hidung ini membuat penglihatan saya terus memudar. Ini pertama kali saya pakai oksigen. Pertama pula di dalam ambulans.
Baju ini makin basah karena demam. Masuk IGD. Dua petugas di ambulans yang menggunakan baju layak astronot, menurunkan saya di RSPP Modular Extension Simprug. Keduanya dengan hati-hati mendorong saya masuk IGD yang sedingin kulkas. Inilah ruangan terdingin yang pernah saya masuki.
Tubuh memang meriang tapi ini dinginnya beda. Saya benar-benar ringkih karenanya.
Saya diberi tempat sebuah dipan. Di sebelah sejarak 2 meter, ada seorang bapak berkacamata, memakai jeans.
Sendirian. Di tangannya terpasang infus dan batuknya mengganggu ruang IGD berukuran 8×5 meter. Ia kedinginan meminta AC diturunkan, tapi tak bisa, sebab AC-nya sentral.
“Tak bisa pak, alat-alatnya harus dalam kondisi dingin,” jawab petugas medis yang ternyata wanita, karena baju APD yang seragam susah membedakannya jika mereka belum bersuara.
Saya ditidurkan di sini, langsung diinfus, diambil darah lalu disuruh menunggu 3 jam, sebab kamar belum tersedia. Saat menunggu itulah batuk berbusa putih, kini sudah berdarah.
Tiap batuk, tiap berdarah. Tiap berdarah berlembar-lembar tisu habis. Sehabis batuk, dada serasa mau pecah. Sakitnya masih ada, batuk terjadi lagi, demikian seterusnya.
Walau sakit yang tak tertahankan, saya memperhatikan sekeliling. Hanya ada dua petugas medis malam dini hari. Satu suster perempuan dan satunya dokter jaga. Dia duduk di meja, di tengah-tengah 8 tempat tidur IGD.