Itu sepotong kisah yang dialami Muharman S. Pt, M. Sos, pasien positif Covid-19 yang kini menjalani isolasi di kawasan Kota Pariaman. Dari ruangan keramat itu dia menulis tulisan bersambung untuk pembaca Harian Singgalang, tentang perjalannya dari awal terkonfirmasi positif hingga menjalani isolasi. *
**
Saya seperti tersangkut di tiang gantungan. Sebuah suara yang lembut, namun perih: “Bapak positif!” Apapun kalimat susulannya, sehangat selimut bayi, selembut bulu angsa, tak lagi menenangkan. Bapak tenang, dengar dengan baik kata-kata kami. Ini, seperti membelai kuduk saya sembari berjalan ke tiang gantungan. Saya akan dijemput ambulance ke rumah. Lalu mobil berlampu merah biru kuning berputar-putar itu, akan membunyikan sirinenya.
Jalanan akan bersibak dan saya akan ada di atas mobil itu.
Awalnya, saya tes covid dan lima hari lalu. Kini telepon seluler saya dihubungi sebuah nomor tidak dikenal. Seperti panggilan maut. Dugaan saya benar, itu adalah nomor petugas medis yang memberikan kabar, saya terkonfirmasi positif. Kalimat pertama yang meluncur dari mulut ‘petugas surveilans’ berusaha menenangkan “bapak jangan cemas dulu ya, dengarkan instruksi kami”.
Seketika saya patuh dan mendengarkan seluruh informasi dan instruksi. Bahwa saya diwajibkan memberitahu keluarga, petugas ambulance akan menjemput saya, bahwa akan dilakukan serangkaian tes tambahan dan lain sebagainya. Seluruh informasi disampaikan lugas dan diakhiri dengan kalimat ‘jika ada yang ditanyakan silahkan bapak hubungi nomor saya”.
Karena dalam keadaan agak panik saya terpaksa menelepon berkali kali petugas surveilans tersebut. Kembali dengan sabar mereka menjelaskan dan menguatkan. Saya seperti diputar gasing, tubuh ini, berkeringat. Tak tentu yang akan saya kerjakan. Apa yang saya hindari selama ini, malah menimpa saya. Dimanakah saya kena corona jahat ini? Tatkala saya memberi tahu istri dan anak, saya tak sanggup menatap bola mata mereka. Tak sanggup. Lalu, air mata mereka jatuh. Inilah tangis paling memilin jantung saya.
Tak butuh waktu lama, saya kemudian dihubungi petugas untuk segera menuju titik yang ditentukan. Atas permintaan saya penjemputan dilakukan tidak di depan rumah, tetapi di ujung jalan tak jauh dari rumah, petugas mengabulkan permintaan saya. Ambulance digawangi seorang petugas dengan APD lengkap. Panas sudah pasti.
Kenapa tak ke rumah? Saya tak kuat melihat anak dan istri, saya tak kuat melangkah ke ambulance untuk sebuah kepergian yang amat mengilukan ini. Biarlah saya kamban sendiri kisah ini, anak dan istri jangan sampai melihat saya pergi. Kadang dalam hidup, sebagai suami,kita tak bisa berbuat banyak untuk orang yang dicintai. Maka ketika kabar buruk datang, simpan sajalah sendiri dalam dadamu, suami memang menahan ragam.