Oleh Putri Juita
Bagi kami sekeluarga, saudara adalah permata. Sesakit sesenang. Itulah sebabnya aku meraung panjang. Tangis ini benar-benar tak bisa dihentikan. Adikku positif Covid-19. Sesak di dadanya seolah pindah ke dadaku.
Jika bisa, pindahkan sakitnya padaku dan sehat dia. Biar kutahan sekuatku, biar kulawan bersama doa-doa sakit itu. Yang sakit, menjaga agar dari seluruh keluarga yang ada, aku jangan tahu, sebab ia tahu, bagaimana aku menyayangi mereka semua.
Kisah pahit ini bermula pada Minggu 27 September. Bagai disambar petir aku tak berdaya menerima kabar. Adik yang berprofesi sebagai bidan dan bertugas di salah satu puskesmas di Padang Pariaman dinyatakan positif covid -19. Langit seolah runtuh. Pandangan berkunang -kunang, tubuh menggigil mendengar berita itu.
Kami dibesarkan bersama-sama di desa, oleh ayah dan ibu. Ibuku, yang kasih sayangnya sedalam samudera, menitipkan adik-adik padaku sejak lama. Kini, dia kena covid. Aku tak bisa menjaga adik sendiri, maafkan aku ya Allah.
Sehari sebelumnya tidak ada tanda-tanda kabar buruk itu datang, tapi setelah pukul 09.30 WIB, adik bungsu yang juga berprofesi seorang perawat menelepon dengan nada suara yang tidak biasanya.
“Hallo Ayang, apa kabar sehat-sehat?” Ia memanggil Ayang padaku.
“Sehat, kami sehat di Padang semua.”
Lalu diam. Lama.
“Hallo-hallo, ya Yang, masih terdengar?
“Masih,” jawab adikku.
Lalu dia mengatakan kita harus menerima kenyataan.
“Ada apa?”
“Hasil swab Itek (Itek panggilan adik terinfeksi itu) dinyatakan positif, kita harus bersabar dan berdoa semoga Itek akan baik –baik saja.” Suara itu tiba-toba saja terdengar sayup.
Aku sebagai kakak ternyata tidak dikabarkan olehnya bahwa dia dinyatakan positif. Dia hanya berkomunikasi dengan adik yang berdinas di Puskesmas Sungai Geringging. Ia simpan sendiri dukanya, agar aku tidak sedih.
Saat menerima kabar itu, sungguh mengejutkan, aku hanya bisa meratap. Kepada siapa aku bisa berbicara. Suamiku bilang tetap tenang, sabar dan berdoa
“Kita hadapi bersama.”
Cuma kalimat itu yang aku dengar. Tapi, aku tetap meratap, tak tahu mau berbuat apa, perasaan benar –benar kacau.
Pagi itu, adik yang dinyatakan positif ternyata langsung ambil tindakan dia berangkat dari rumahnya kompleks Balimbing diantar suaminya ke Puskesmas tempat dia berdinas, yakni Pasar Usang, Padang Pariaman. Aku tidak bisa ketemu langsung dengannya.
Aku tak mau bertanya tentang keadaan yang sebenarnya, tapi aku tetap berkomunikasi dengan adikku yang di kampung, dia hanya menyarankan tetap berdoa yang terbaik. Jangan dikira, dia tak ingat kakaknya ini. Kami orang kampung memang begitu, tak mau mengusik yang sedang sedih dan tak mau berkabar pada semua saudara. Hanya salah seorang saja dari kami yang menyebar berita itu. Kalau sudah demikian,serumpun-rumpunnya kami akan sedih. Orang desa, sayangnya memang beda dengan orang kota.
Aku bingung perasaan semakin mendera , aku harus minta pendapat sama siapa. Yang paling menyedihkan, karena dalam rumah itu ada lima oranglagi, tiga anaknya, mertua dan suaminya. Aku tidak bisa bayangkan seandainya dijemput dengan mobil ambulance serta petugas yang berpakain lengkap covid -19, akan menjadi tekanan yang hebat bagi anak- anaknya.
Sebagai luapan emosi aku hanya bisa menangis dan menangis, akhirnya timbul niat minta menghubungi dan minta pendapat dan pertolongan untuk meringankan pikiran. Aku coba menelepon pimpinan tempat aku bekerja, dia Bapak Khairul Jasmi (KJ) , Pemimpin Redaksi Harian “Singgalang”. Satu kali, dua kali aku menghubungi lewat telepon genggamnya tidak mengangkat, rasa sedih semakin mendalam, yang ketiga baru bisa tersambung.