“Bang adiak awak positif, baa caronyo lai ko?”
Dia menjawab sangat bijaksana, “dima nyo kini, dak baa tudoh, makan sajo yang bergizi dan bervitamin, jan bapikia bana biko badaram sadonya, bara urang sarumah? Yang adoh di rumah tu da baa dak tes swab doh, yang penting yang limo urang lai tu makan sajo dijago, balilah jeruk, minum air serei, jahe dan jaga kondisi tubuh.”
Aku tetap menyesali diri, karena tidak bisa menjaga adik, meskipun dia lebih mengerti kesehatan.
Tak lama bapak KJ telepon lagi, langsung bilang, “sia nan adoh di ateh rumah tu, lai bisa mengecek?” Aku paham telepon genggam aku berikan pada Irwan, suamiku. Setelah selesai suamiku berkata. “Bapak KJ bilang, harus tenang, sabar, berdoa dan jangan stres.”
Begitu empat kata yang disampaikan lewat suamiku. Sungguh, sangat menjadi sitawa sidingin, sajuak hati ko rasonyo.
Namun beberapa menit kemudian, hati tak tenang juga , kucoba menelepon seorang sahabat dan sekaligus rekan kerja namanya Yuke, tapi kabar aku dapat , sangat menyayat hati.
Kalimatnya begini, “sudahlah kak yang sakit diobat, tapi yang lain harus dilakukan tes swab , mungkin nanti ada petugas kesehatan yang datang ke rumah. Atau telepon orang Puskesmas itu , minta tolong kepada jangan sampai ada penjemputan dengan mobil ambulance serta petugas yang berpakaian Covid-19 lengkap, karena akan membuat anak- anak tidak nyaman dan tertekan dilihat tetangga nantinya”. Mendengar kalimat dari sahabat itu aku semakin bingung apa yang harus ku perbuat? Telepon mulai terputus.
Tapi kucoba untuk mengulang kembali menghubungi Yuke, dia bilang, ini ada obat daun dewa di rumah, dengan spontan aku harus menjemput.
“Jemput saja ke jln .Veteran Kak, nanti aku bawakan, namun setelah aku sampai di lokasi Yuke belum berada di tempat. Semakin panik, aku putuskan pergi menjemput ke rumahnya, di kawasan Wisma Warta, sampai di rumah Yuke langsung memetik daun dewa, dia bilang harus direbus minum airnya,” aku kerjakan sesuai perintah Yuke.
Di perjalanan mau kembali ke rumah, HP ku terus menerus berdering, dimana kemenakan ku Dilla, menyarankan membelikan sejumlah vitamin secepatnya, agar bisa dibawa langsung ke Pariaman untuk adik. Aku pergi ke toko obat, di kawasan Siteba Padang dan sejumlah toko di kawasan Lapai tidak ada vitamin yang disarankan Dilla itu.
Terpaksa harus putar balik ke kawasan Tarandam Padang , di sanalah semua vitamin dan obat- obatan serta minyak terapi aku beli , tidak peduli berapa harga yang penting adikku dapat obat.
Setelah semuanya cukup, aku kembali ke rumah, tak lama kemudian datang keluarga besar, kakak dan adik-adikku dari kampung membawa kelapa muda dan daun sungkai segar tiga karung, keadaan benar-benar mencekam, dalam situasi yang tidak nyaman. Semua terdiam air mata saja bercucuran. Di sinilah aku merasakan sedih –sedih yang tidak berujung sampai malam hari .
Berselang waktu keluarga harus kembali ke rumah sakit Pariaman, tempat Efni begitu panggilan adik yang positif itu , di sana di cek ulang kesehatannya kembali sampai pukul sepuluh malam, akhirnya pihak rumah sakit memutuskan diisolasi saja.
Di rumah sakit Pariaman itu penjagaan sangat ketat, kita hanya bisa melihat lewat video call. Efni terlihat sangat terpukul, meskipun dia seorang tenaga medis, saya melihat raut wajah ada ketakutan yang luar biasa. Saat diberikan rebusan daun dewa dan jus daun sungkai, serta air kelapa muda, melalui petugas, dia langsung minum, beberapa saat kemudian badannya agak terasa lebih fresh .
Itulah kabar baik yang aku terima di Padang melalui telepon genggam kakak perempuan yang sudah sampai di rumah sakit. (bersambung)