JAKARTA – Indonesia berkontribusi secara global melawan virus COVID-19. Selain sebagai salah satu pusat penelitian uji klinik fase III bagi vaksin Sinovac yang diselenggarakan di Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, Indonesia juga turut serta meneliti dan memproduksi vaksin COVID-19 mandiri yang disebut vaksin Merah Putih.
Saat ini Indonesia sedang berproses untuk menghasilkan vaksin. Prof. Dr. Ali Ghufron Mukti, Ketua Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19 Kemenristek BRIN menyatakan. “Kita bersyukur bahwa perusahaan nasional Bio Farma masuk ke dalam CEPI (Coalition for Epidemic Preparedness Innovations) yang mana ikut berperan dalam inovasi dan produksi vaksin di dunia”, terangnya dalam acara Dialog Produktif dengan tema “Vaksin dan Pembangunan Kesehatan Indonesia”, yang diselenggarakan Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), Rabu (18/11).
Indonesia mengembangkan vaksin Merah Putih dengan beberapa institusi seperti Lembaga Eijkman dan beberapa Universitas, termasuk LIPI dengan platform yang berbeda-beda dengan target produksi di tahun 2021. “Kita targetkan vaksin Merah Putih bisa diproduksi 2021. Faktor yang menjadi fokus pengembangan vaksin Merah Putih tentu keamanannya, kemudian tingkat efektivitasnya. Stabilitas vaksin Merah Putih itu sendiri, implementasi, hingga ketersediaannya nanti juga akan terus dipantau” tutur Prof. Ali Ghufron.
Prof. Herawati Sudoyo Supolo, Deputi Fundamental Research Eijkman Institute menyampaikan pada kesempatan yang sama menjelaskan. “Kita harus turut serta dalam pengembangan vaksin ini, karena kita mempunyai kemampuan, sumber daya manusia, dan fasilitas yang mumpuni. Terkait pengembangan vaksin COVID-19 yang dikembangkan Eijkman, kita telah menggunakan pendekatan terbaru yang lebih cepat dan aman serta mampu memberikan data yang akurat pada pemerintah”, ujarnya.
Vaksin Merah Putih diyakini akan memberikan kedaulatan nasional. Oleh karena itu percepatan penemuan kandidat vaksin Merah Putih ini dilakukan secara paralel. “Itu kuncinya kenapa kita bisa cepat. Kita sudah terbiasa menggunakan platform ini sehingga bisa lebih cepat. Peneliti saat ini tidak bekerja lagi dalam senyap. Kita diminta untuk bisa menjadi komunikator termasuk memperbaiki komunikasi publik kita. Gunanya untuk memberikan informasi tentang kegunaan vaksin kepada pemangku kepentingan dan publik”, kata Prof. Herawati.
Lembaga Eijkman selalu memberikan laporan kemajuan penelitian di laboratorium mereka. “Kemungkinan kita akan memberikan laporan vaksin merah putih di awal 2021. Menurut saya vaksin Merah Putih itu jangka panjang. Kita tidak ingin memberikan vaksin Merah Putih yang tidak aman dan tidak manjur. Jadi kita akan melalui semua prosesnya. Tapi tetap ada percepatan tadi”, kata Prof. Herawati.
Vaksin Merah Putih berbasis virus COVID-19 yang beredar di Indonesia dan dikembangkan anak bangsa. Kemandirian ini sangat penting, karena menyangkut kedaulatan dan kemampuan sebuah negara dalam penguasaan teknologi dan inovasi. Tentu dengan kemajuan ini kita tidak akan menjadi negara trader atau sebatas pengimpor. “Kita harus mampu memiliki terobosan, dan untuk diketahui kita sudah mampu mengekspor vaksin ke 140 negara. Indonesia jadi negara rujukan di OKI (Organisasi Kerja Sama Islam) untuk vaksin”, terang Prof. Ghufron.
Prof. Ghufron menegaskan. “Masyarakat tidak perlu takut terhadap vaksin dan program vaksinasi yang nantinya akan dijalankan pemerintah. Kendati begitu masyarakat harus tetap menjaga kesehatan karena vaksin bukan satu-satunya cara untuk terbebas dari virus COVID-19”.
Prof. Herawati menambahkan. “Vaksin itu bukan segalanya, dalam dunia kedokteran pencegahan lebih baik daripada pengobatan. Walaupun sudah memiliki vaksin nantinya, protokol kesehatan harus tetap kita jalankan”.
“Tanpa kesehatan segalanya tidak ada artinya, jadi harus kita jaga kesehatan kita paling tidak dengan 3M (Memakai masker, Mencuci Tangan, dan Menjaga Jarak) juga 3T (Tracing, Tracking, dan Treatment). Kita harus mampu berinovasi tidak hanya untuk mengatasi COVID-19 tapi juga memberikan nilai tambah dan mengurangi ketergantungan terhadap impor”, tutup Prof. Ghufron. (*)