Yudi Latif: LDII Dapat Ambil Peran Jaga Kebangsaan 

Wakil Ketua dan Sekretaris DPW LDII Sumatera Barat Buya Ahmad Nasir dan Mario Sofia Nasution dan pengurus mengikuti webinar nasional bersama Kasubdit Bin Tibsos Ditbinmas Polda Sumbar AKBP Ichwan serta Kasat Binmas Polresta Padang Kompol Darto di studio DPW LDII Sumbar di Padang

Efek globalisasi pada sila kelima, karena kesenjangan sosial, ketidakmerataan pembangunan, dapat melahirkan prasangka, berbagai bentuk kekerasan dan protes serta kecemburuan sosial.

Yudi menyambut baik kerja sama Polri dan LDII untuk membentuk FKPM. Dengan Lembaga itu, masyarakat dan aparat negara dapat membuat titik temu atau common ground, jika robekan sosial tadi merembes ke desa. Dengan FKPM, bisa dibangun jaringan konektivitas, persambungan, silaturrahim, dan gotong-royong.

Ia menilai, LDII memiliki semangat inklusif, bisa membangun konektivitas, menjadi jembatan katalis pertemuan orang yang beda suku, adat, dapat terkoneksi satu sama lain, sekaligus membangun kerangka kerjasama dengan berbagai elemen, sehingga dapat menjadi damai dan harmoni.

Kedua, kesetaraan akses terhadap pendidikan, kesehatan, ketertiban, keamanan, kesejahteraan, permodalan, itu penting. “Seringkali robekan sosial terjadi karena eksklusivitas, dimana apabila akses ekonomi, kesehatan dan pendidikan dikuasai oleh golongan tertentu, akan membuat kecemburuan,” ujarnya.

Sementara itu, Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro, sekaligus Ketua DPP LDII Singgih Tri Sulistyono menyampaikan wilayah dan masyarakat pedesaan masih merupakan penyangga utama kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Namun transformasi historis yang saat ini berlangsung telah mengancam salah satu pilar struktur sosial, yakni memudarnya pola hubungan patron-client. Padahal pola hubungan ini menjamin kehidupan yang harmoni di pedesaan.

“Hubungan patron-client adalah hubungan antara pemimpin dengan pengikut yang saling menguntungkan dimana pemimpin menjamin kemakmuran sedangkan rakyat memberikan dukungan politik dan penghormatan,” paparnya.

Sistem politik tersebut menjadikan desa sebagai kesatuan teritorial dan budaya yang utuh dan solid. Meski hidup dalam kondisi pas-pasan, dulunya ketahanan hidup masyarakat desa dijamin oleh pemimpinnya. “Kegaduhan, perlawanan dan pemberontakan masyarakat desa justru terjadi ketika ada goncangan dalam pola hubungan patron-client dan terlanggarnya batas subsistensi,” ujar Singgih.

Menurut Singgih, pernah ada situasi dimana masyarakat kumpul di suatu masjid melakukan zikir bersama meminta tolong langsung kepada Maha Kuasa, bukan meminta tolong kepada penguasa. Ia berpendapat, hal tersebut menjadi salah satu indikator para pemimpin di desa itu tidak lagi menjadi tempat bergantung dan berlindungnya masyarakat, sehingga hubungan patron-client mengalami disorientasi.

“Saya kira, untuk sekarang dan yang akan datang satu-satunya yang bisa menjadi patron di masyarakat desa adalah negara. FKPM yang diinisiasi pihak Polri bisa difungsikan sebagai elemen negara karena di dalamnya terdapat aparat keamanan, pemerintahan dan tokoh-tokoh masyarakat. LDII siap bekerjasama untuk menjalankan fungsi patron-client yang bisa menjadi pembela dan pelindung masyarakat pedesaan dari berbagai macam potensi konflik sosial,” papar Singgih.

Menurutnya, LDII di berbagai daerah bisa bergabung dengan ormas lain dan kepolisian mendirikan FKPM, atau bergabung dengan FKPM yang sudah berjalan di suatu daerah. Dengan bergabung dalam FKPM, LDII dan masyarakat lainnya berperan aktif dalam memelihara Kamtibmas Bersama dengan kepolisian.